Senin, 27 Mei 2013

HUKUM PERJANJIAN



1.        STANDAR KONTRAK
Pengertian
         Standar kontrak adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen (Johannes Gunawan).
·         perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam Badrulzaman)
·         is one in which there is great disparity of bargaining power that the weaker party has no choice but to accept the terms imposed by the stronger party or forego the transaction.
·         Perjanjian baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.

Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.
1. Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
2. Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.

2.       
Jenis-jenis kontrak standar
·         Ditinjau dari segi pihak mana yang menetapkan isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka ditawarkan kepada konsumen secara massal, dapat dibedakan menjadi:
a.       kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditur;
b.       kontrak standar yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak;
c.       kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga.

·         Ditinjau dari format atau bentuk suatu kontrak yang persyaratannya dibakukan, dapat dibedakan dua bentuk kontrak standar, yaitu:
a.       kontrak standar menyatu;
b.      kontrak standar terpisah.

·         Ditinjau dari segi penandatanganan perjanjian dapat dibedakan, antara:
a.       kontrak standar yang baru dianggap mengikat saat ditandata- ngani;
b.       kontrak standar yang tidak perlu ditandatangani saat penutupan.
        
PENGERTIAN PERJANJIAN

untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian, kita melihat pasal 1313 KUHPdt, yaitu “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Ketentuan pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah seperti :
(a)    Hanya menyangkut sepihak saja
Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.
(b)   Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.
Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechmatige daad) yang tidka mengandung suatu konsensus. Seharusnya pakai kata “persetujuan”.
(c)    Pengertian penjanjian terlalu luas.
Pengertian perjanjian pada pasal tersebut terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja.
(d)   Tanpa menyebut tujuan
Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka “perjanjian adalah suatu persetujuan dengan nama dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. Hukum yang mengatur tentang perjanjian ini disebut hukum perjanjian (law of contract). Perumusan ini erat hubungannya dengan pembicaraan tentang syarat-syarat perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPdt yang akan dibicarakan kemudian.
Perjanjian yang dibuat dapat berbentuk kata-kata secara lisan, dapat pula dalam bentuk tertulis berupa suatu akta. Perjanjian yang dibuat secara tertulis (akta) biasanya untuk kepentingan pembuktian, misalnya polis pertanggungan.
Apabila diperhatikan perumusan perjanjian tersebut diatas tadi, tersimpullah unsur-unsur perjanjian itu seperti:
(a)    Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang
Pihak-pihak ini disebut subjek perjanjian. Subjek perjanjian ini dapat berupa manusia pribadi dan badan hukum. Subjek perjanjian ini harus mampu atau wenang melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam undang-undang.
(b)   Ada persetujuan antara pihak-pihak itu
Persetujuan disini bersifat tetap, bukan sedang berunding. Perundingan itu adalah tindakan-tindakan pendahuluan untuk menuju kepada adanya persetujuan. Persetujuan iyu ditunjuakan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran. Apa yang ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak yang lainnya.Yang ditawarkan adalah yang dirundingkan dan umumnya mengenai syarat-syarat perjanjian.
(c)    Ada tujuan yang akan dicapai
Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak itu, kebutuhan mana hanya dapat dipenuhi jiak mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh undang-undang.
(d)   Ada prestasi yang akan dilaksanakan
Dengan adanya persetujuan, maka timbullah kewajiabn untuk melaksanakan suatu prestasi. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban membayar harga barang dan penjual berkewajiban menyerahkan barang.
(e)    Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan
Bentuk ini perlu ditentukan, karena ada ketentuan undang-undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti. Bentum tertentu itu biasanya berupa akta. Perjanjian itu dapat dibuat secara lisan, artinya dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya yang dipahami oleh pihak-pihak, itu sudah cukup. Kecuali jika pihak-pihak menghendaki supaya dibuat secara tertulis (akta).
(f)    Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian
Syarat-syarat tertentu ini sebenarnya sebagai isi perjanjian. Karena dari syarat-syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban pihak-pihak. Syarat-syarat ini biasanya terdiri dari syarat pokokyang akan menimbulkan hak dan kewajiban pokok, misalnya mengenai barangnya, harganya dan juga syarat pelengkap atau tambahan, misaknya mengenai cara pembayarannya, cara penyerahannya, dan lain-lain.

3.       
2.        MACAM – MACAM PERJANJIAN
(a)   perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.
(b)   Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani.
(c)    Perjanjian bernama dan tidak bernama
(d)   Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator
(e)    Perjanjian konsensual dan perjanjian real


(a)  Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.
Perjanjian timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, pemborongan bangunan, tukar-menukar.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak lain berhak menerima benda yang diberikan itu.
Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah.
Pembadaan ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 KUHPdt. Menurut pasal ini salah satu syarat adalah pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik.
(b)   Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani.
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang membenbani adalah perjanjian dalam nama terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
Kontra prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan B sejumlah uang, jika B menyerah-lepaskan suatu barang tertentu kepada A.
Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisa berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan pasal 1341 KUHPdt).
(c)    Perjanjian bernama dan tidak bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya terbatas.
(d)   Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator
Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian keberadaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga.
Pentinganya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.
(e)    Perjanjian konsensual dan perjanjian real
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karna adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan, pinjam pakai (pasal 1694, 1740, dan 1754 KUHPdt).
Dalam hukum adat, perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan sifat hukum adat bahwa setiap pembuatan hukum (perjanjian) yang objeknya benda tertentu, seketika terjadi persetujuan kehendak serentak ketika itu juga terjdi peralihan hak. Hak ini disebut “kontan atau tunai”.

3.        SYARAT  SAHNYA PERJANJIAN
Bagaimana syarat sah suatu perjanjian?
Berdasarkan pasal 1320 Kitap Undang-Undang
Hukum Perdata, terdapat 4 syarat suatu perjanjian dinyatakan sah secara hukum, yaitu:
  • terdapat kesepakatan antara dua pihak. Materi kesepakatan ini dibuat dengan kesadaran tanpa adanya tekanan atau pesanan dari pihak mana pun, sehingga kedua belah pihak dapat menunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan;
  • kedua belah pihak mampu membuat sebuah perjanjian. Artinya, kedua belah pihak dalam keadaan stabil dan tidak dalam pengawasan pihak tertentu yang bisa membatalkan perjanjian tersebut;
  • terdapat suatu hal yang dijadikan perjanjian. Artinya, perjanjian tersebut merupakan objek yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan;
  • hukum perjanjian dilakukan atas sebab yang benar. Artinya, perjanjian yang disepakati merupakan niat baik dari kedua belah pihak dan bukan ditujukan kejahatan.
            Orang yang membuat suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada azasnya, setiap “orang yang sudah dewasa” atau “akilbalig” dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam  pasal 1330 kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian :
·         orang-orang yang belum dewasa
·         mereka yang ditaruh didalam pengampunan
·         orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang  telah melarang membuat perjanjian tertentu.
            Dari sudaut rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan “terikat” oleh perjanjian itu dan mempunyai cukup kemampaun untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Dedangkan dari sudut ketertiban hukum, oleh karena seorang yang membuat sesuatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaanya, orang tersebut harus seseorang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas dengan harta kekayaannya.
            Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampunan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada dibawah kekuasaan pengampunnya. Kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak yang belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang ditaruh dibawah pengampunan harus diwakili oleh pengampun atau kuratornya.
            Menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin(kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 kitab Undang-undang Hukum Perdata).
            Untuk perjanjian-perjanjian mengenai soal-soal kecil yang dapat dimasukan dalam pengertian “keperluan rumah-tangga” maka dianggaplah istri itu telah dikuasai oleh suaminya. Dengan demikian maka seorang stri dimasukkan dalam golongan orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian. Perbedaannya dengan seorang anak yang belum dewasa adalah bahwa seorang anak harus diwakili oleh orang tua/wali, sedangkan seorang istri harus “dibantu” oleh sang suami. Kalau seorang dalam membuat suatu perjanjian “diwakili” oleh orang lain, maka ia tidak membuat perjanjian itu sendiri. Tetapi kalau seorang “dibantu”, ini berarti bahwa ia bertindak sendiri, hanya ia didampingi oleh orang lain yang membantunya itu. Bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin tertulis.
            Dan terdapat syarat perjanjian objektif dan subjektif. Dalam halnya suatu syarat objektif, maka kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu adalah “batal demi hukum”. Artinya : dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak mengadakan perjanjian tersebut, yakni melahirkan suatu perkaitan hukum adalah gagal. Dengan  demikian maka tiada dasar untuk saling menuntut dimuka hakim.
            Dalam hal syarat subjektif maka jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum, tetap salah satu pihka mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian itu digagalkan. Pihak yang meminta pemnbatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberi kesepakatannya secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang dibuatnya itu  mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang meminta pembatalan tadi. Dengan demikian nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya.

4.        SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.
Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya.

5.        PEMBATALAN DAN PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN
Pembatalan
Apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum . Dalam hal demikian, secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perizinan tidak bebas, yaitu : paksaan, kekhilafan dan penipuan. Yang dimaksud dengan paksaan, adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa, jadi bukan paksaan badan. Kekhilafan atau kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Ada dua cara untuk memintapembatalan perjanjian itu. Pertama pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu dibatalkan. Cara kedua, menunggu sampai ia digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut. 
Pelaksanaan
Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjianperjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu :
1.      Perjanjian untuk memberikan / menyerahkan suatu barang;
2.      Perjanjian untuk berbuat sesuatu;
3.      Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu Contoh perjanjian yang pertama adalah : jual-beli, tukar-menukar, penghibahan, sewa-menyewa.
Contoh perjanjian yang kedua adalah : 
perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perubahan,perjanjian untuk membuat sebuah garasi.
Contoh perjanjian yang ketiga adalah :
perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan seorang lain. Pedoman-pedoman lain yang penting dalam menafsirkan suatu perjanjian adalah :
1.      Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka haruslah diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf.
2.      Jika sesuatu janji berisikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang sedemikian rupa yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, daripada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatupelaksanaan.
3.      Jika kata-kata dapat memberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
4.      Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan di negeri atau di tempat di manaperjanjian diadakan
5.      Semua janji harus diartikan dalam hubungan satu sama lain ; tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjianseluruhnya yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.


SUMBER :
·         Katuuk, Neltje F. 1994. Aspek Hukum Dalam Bisnis.  Februari
·         Muhammad, Abdulkadir. 1992. Hukum Perikatan. Citra Aditya Bakti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar